Senin, 17 Juni 2013

Artikel Produksi tanaman pada lahan basah

Pendekatan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman pada lahan basah?

Tanaman sangat dipengaruhi oleh keadaan media tempat tumbuhnya. Secara konvensional, media tempat tumbuh tanaman adalah lahan yang dapat berupa kering dan basah. Umumnya lahan kering dapat menyediakan segala kebutuhan tanam lebih baik dibanding lahan basah. Pada lahan kering, unsur hara dan oksigen yang dibutuhkan tanaman tersedia dalam jumlah yang cukup banyak di lahan kering. Demikian pula, air juga cukup tersedia di lahan kering, asal ada cukup hujan atau diberi pengairan secukupnya. Sebaliknya, pada lahan basah, ketiga unsur tersebut (unsur hara, oksigen, dan air) kurang tersedia.

Apa yang dimaksud dengan lahan basah. Lahan basah diambil dari istilah Inggris wetland, yang menurut Kamus Merriam-Webster (2012) berarti lahan atau areal seperti rawa atau paya yang kadang-kadang tergenang oleh air yang dangkal atau yang mempunyai tanah yang dipenuhi air. Menurut Ramsar (2012) lahan basah dalam pasal 1.1 dari Konvensi Ramsar menetapkan bahwa lahan basah adalah daerah paya, rawa, lahan gambut atau perairan, baik alami maupun buatan, permanen atau sementara, dengan air yang diam atau mengalir, segar, payau atau asin, termasuk daerah perairan laut dengan kedalaman pada saat surut tidak melebihi enam meter.

Lahan basah, apalagi pada saat tergenang air, memiliki kondisi tanahnya yang tidak ideal bagi tanaman. Pada lahan basah, tanah memiliki unsur yang tidak proporsional. Tanah yang ideal memiliki bagian padat, bagian cair, dan bagian udara yang berimbang. Pada lahan basah hanya tinggal bagian padat dan bagian cairnya saja, karena bagian udaranya telah diisi oleh air. Pori makro hilang sekaligus mengusir udara (O2) yang diperlukan oleh tanaman untuk respirasi, dari dalam tanah.

Ironisnya, air yang berlebihan yang terdapat dalam tanah justru tidak dapat dipakai oleh tanaman karena akar tidak mampu menyerap air secara aktif. Tanpa O2 (hipoksia), sel-sel akar tidak dapat bertahan hidup lama, hingga akhirnya mati. Sel-sel akar yang sekarat atau bahkan mati itu, terutama sel-sel xylemnya tidak dapat melakukan penyerapan air secara aktif sehingga air tidak terserap dan terangkut ke bagian atas tanaman. Menurut Parent et al. (2008), kondisi terbatasnya O2 secara dramatis akan mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan keberadaan tanaman.

Bagaimana dengan unsur hara di lahan basah. Keberadaan air yang sangat banyak di dalam tanah memiliki pengaruh buruk terhadap kondisi unsur hara, baik bentuknya maupun ketersediaannya secara fisik. Beberapa unsur hara mengalami perubahan bentuk, seperti unsur nitrogen, berganti bentuk dari NO3+ menjadi NH4-. Perubahan bentuk ini menyebabkan tanaman umumnya tidak dapat menyerapnya, kecuali hanya beberapa tanaman saja yang bisa, seperti padi. Demikian pula secara fisik, air yang terlalu banyak di permukaan tanah dapat menyebabkan terjadinya pencucian unsur hara dari top soil. Pencucian ini menyebabkan berkurangnya konsentrasi unsur hara sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan produksi tanaman yang tumbuh di atasnya.

Untuk lebih rinci mengenai keadaan unsur hara pada lahan basah, ada baiknya kita melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Edem dan Ndaeyo pada tahun 2007 di Negeria. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa lahan basah memiliki banyak masalah. Berikut adalah masalah-masalahnya.

Pertama adalah pH. Pada saat basah, pH tanahnya netral, yaitu 6,4, tetapi menjadi ektrim sangat asam, yaitu 3,5 ketika kering. Berikutnya adalah N total juga rendah. Kandungan kation dasar seperti Ca, Mg, K, dan Na juga rendah. Sebaliknya, kation asam seperti Al dan H tinggi. Rasio Ca:Mg berada di bawah ambang batas optimum di mana rasio optimum itu 3:1 ampai 4:1 untuk kebanyakan tanaman. Rasio Mg:K di atas 1,2 di mana di bawahnya bisa menyebabkan hasil tanaman seperti jagung dan kedelai bisa berkurang. Kapasitas tukar kation juga rendah, yaitu di bawah 20cmol/kg. Persen kejenuhan basa juga rendah, yaitu < 38, yang menunjukkan bahwa tanah kurang subur. Jumlah Al-dd dan Al jenuh juga tinggi, di atas 60%. Nilai daya hantar listrik di atas nilai kritis 2 dsm-1, sementara persen Na-dd kurang dari 0,15. P tersedia juga rendah, yakni < 10 ppm dan rasio Fe2O3/liat bebas < 0,15.

Setelah melihat permasalahan lahan basah secara umum, maka beberapa skenario dapat dibuat. Skenario ini dapat dijalan secara sendiri atau bersama-sama. Skenario yang pertama adalah mengurangi air dan menambah tanah.

Karena masalah pada lahan basah adalah adanya air yang berlebihan, maka solusinya tentulah menguranginya dari lahan tersebut. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, di antaranya melakukan penimbunan seluruh lahan dengan tanah agar permukaan tanah lebih tinggi dari permukaan air. Cara ini praktis dan cepat karena begitu lahan selesai ditimbun dengan tanah, maka lahan tersebut segera dapat ditanami dengan tanaman, sebagaimana layaknya lahan kering. Namun, cara ini memiliki dampak buruk terhadap ekosistem lahan basah tersebut. Menurut Lee dan Lee (2007) penimbunan lahan basah dapat mengganggu keseimbangan air dan berikutnya dapat mengganggu reproduksi ikan dan organisme perairan lainnya yang hidup di daerah itu.

Cara lain yang lebih moderat adalah menambah permukaan tanah di sebagian lahan saja. Tanah ditimbun di bagian tertentu, yaitu hanya pada tempat tegaknya tanaman saja. Dengan demikian, bagian lahan yang lain tetap basah sebagaimana biasanya. Cara ini cocok untuk tanaman keras yang jarak tanamnya relatif renggang, tetapi kurang cocok untuk tanaman semusim yang jarak tanamnya sempit. Namun dari sudut pandang kelestarian lingkungan, cara ini lebih aman dibanding cara menimbun areal seluruhnya karena cara ini relatif tidak terlalu mengganggu keseimbangan air sebagaimana cara timbun seluruh areal. Ekosistem perairannya relatif tetap terjaga.

Cara lain yang sering dilakukan adalah membuat saluran drainase untuk membuang atau mengalirkan air yang berlebihan ke daerah lain. Dengan drainase yang baik, lahan basah dapat diubah menjadi lahan kering. Namun demikian, hilangnya air dari lahan tidak serta merta menghilangkan masalah pada lahan basah. Tanah yang tiba-tiba kering pada lahan basah mempunyai pH tanah yang sangat ekstrim rendah. Keasaman yang ekstrim ini memiliki banyak konsekuensi kimia yang buruk terhadap ketersediaan unsur hara. Menurut McKenzie (2003), pH rendah apalagi ekstrim rendah akan menurunkan ketersediaan unsur hara makro P dan K serta unsur hara mikro seperti Mn, Fe, Cu, Zn, dan B. Oleh karena itu, pembuatan saluran drainase harus juga diiringi dengan pembuatan saluran irigasi agar tanah yang kering dapat segera diberi air.

Pendekatan lain adalah memilih tanaman yang cocok di tanam di lahan basah. Kendati hanya sedikit jumlahnya, tetapi ada tanaman tertentu yang dapat bertumbuh dan berproduksi dengan baik di lahan basah. Misalnya padi. Padi sebenarnya bukan tanaman air tetapi padi dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di lahan yang tergenang air. Banyak varietas padi telah dikembangkan dengan spesifikasi yang beragam pula. Ada yang cocok untuk lahan kering, yang sering disebut varietas padi gogo, ada yang cocok untuk lahan basah yang permanen tergenang air, dan ada pula yang cocok untuk lahan kering-basah. Pilihan lain adalah menanam tanaman lain selain padi, seperti tanaman hutan untuk kayu, buah-buahan, dan hias dan obat-obatan. Teratai misalnya merupakan tanaman lahan basah yang potensial karena menurut Smallcrab (2012) seluruh bagian tanaman teratai dapat digunakan sebagai obat. Pilihan lain, Mdc (2012) menyebut beberapa jenis tumbuhan yang dapat hidup dengan baik di lahan basah seperti bald cypress, tupelo, sweet-gum, oak, pecan, dan nuts.

Alternatif lain yang sangat menjanjikan adalah melakukan budi daya tumpang sari, yaitu melakukan beragam aktivitas pertanian (multikultur) pada waktu dan tempat yang sama sekaligus. Misalnya mina padi, sambil menanam padi, petani juga menabur benih ikan di lahan basah tersebut. Menurut Warsawa (2012) sistem tanam tumpang sari mempunyai banyak keuntungan yang tidak dimiliki pada pola tanam monokultur. Beberapa keuntungan pada pola tumpang sari antara lain: 1) akan terjadi peningkatan efisiensi (tenaga kerja, pemanfaatan lahan maupun penyerapan sinar matahari), 2) populasi tanaman dapat diatur sesuai yang dikehendaki, 3) dalam satu areal diperoleh produksi lebih dari satu komoditas, 4) tetap mempunyai peluang mendapatkan hasil manakala satu jenis tanaman yang diusahakan gagal dan 5) kombinasi beberapa jenis tanaman dapat menciptakan beberapa jenis tanaman dapat menciptakan stabilitas

biologis sehingga dapat menekan serangan hama dan penyakit serta mempertahankan kelestarian sumber daya lahan dalam hal ini kesuburan tanah.

Dari uraian di atas, maka produksi lahan basah dapat ditingkatkan dengan beberapa pendekatan, antara lain dengan reklamasi fisik berupa penimbunan lahan dengan tanah mineral, seluruhnya atau sebagian. Opsi lain adalah membuat drainase atau membuang air dari lahan basah dengan catatan harus diikuti oleh perlakuan lain seperti mempertahankan bahan organik yang cukup, memberikan kapur, menambah pupuk organik dan anorganik. Ketiga, pilihan berikutnya adalah membudidayakan tanaman yang sesuai dengan kondisi lahan basah, seperti padi dan teratai. Terakhir tapi bukan terpaksa adalah melakukan budi daya tumpang sari, seperti mina padi, yaitu menanam padi sembari memelihara ikan.

Muhammad Hatta
DAFTAR PUSTAKA
Edem, S.O. and N. U. Ndaeyo. 2007. Fertility status and management implications of wetland. Soils for sustainable crop production in Akwa Ibom State, Nigeria. Springer Science+Business Media B.V. pp. 393 – 406.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar